Tugas Belajar, Belum Rezeki Tahun Ini

Kembali menjadi mahasiswa, melanjutkan kuliah tanpa diberikan lagi tanggungjawab beragam tugas kantor tentu menjadi impian tersendiri bagi kami-kami para lulusan STAN. Apalagi bagi kami yang lulusan D I, melanjutkan pendidikan ke jenjang D III dibawah naungan almamater yang sama pastinya menjadi sebuah harapan serta hal yang dicita-citakan. Ini juga yang saya rasakan beberapa waktu yang lalu ketika dibuka penerimaan mahasiswa tugas belajar di instansi kami, kementerian keuangan.

Sedikit cerita, di DJP khususnya, kami mengenal 2 sarana yang bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikan. Tugas Belajar dan Ijin Belajar. Perbedaan keduanya adalah pada Tugas Belajar, kita sudah tidak lagi masuk kantor dan hanya belajar saja, kembali menjadi mahasiswa. Adapun ketika ijin belajar, tidak ada yang berubah pada aktifitas dan tanggungjawab kita di kantor. Hanya menambah kegiatan untuk kuliah, disyaratkan kuliah malam selepas pulang kantor, nanti perkembangan kuliah dan hasilnya akan dilaporkan secara berkala lewat kepegawaian.

Satu hal juga yang menjadi semacam magnet mengapa tugas belajar menjadi idaman, adalah karena setelah lulus dari sana, akan ada penempatan ulang tempat kerja. Jadi tidak mesti kembali ke kantor asal. Maka sudah dipastikan, bagi mereka-mereka yang penempatannya jauh dari kampung halaman, tugas belajar ini seakan menjadi angin segar untuk mencoba peruntungan dengan dengan dua kelebihan sekaligus: meng-upgrade pendidikan dan juga penempatan ulang.

Oh, satu hal juga yang menjadi kelebihan tugas belajar dibandingkan ijin belajar adalah setelah lulus dari tugas belajar, pangkat dan jabatan pegawai akan langsung menyesuaikan. Jadi misalnya saya yang golongan IIa ikut tugas belajar D III Khusus, maka ketika lulus nanti pangkat dan golongan saya otomatis berubah menjadi IIc. Berbeda dengan ijin belajar yang ‘hanya’ meng-upgrade pendidikan terakhir saja, pangkat dan jabatan tidak berubah kecuali kalau nanti ikut ujian penyesuaian kenaikan pangkat (UPKP) yang itupun sangat ketat dan tidak mudah.

Ok, saya sekedar mau cerita saja tentang seleksi mahasiswa tugas belajar yang beberapa waktu lalu saya ikuti. Sebagai pegawai baru yang tinggal di seberang pulau, terpisah samudera dengan keluarga nun jauh di sana. Halah, lebay.. 😀 Ya intinya dengan berbagai pertimbangan yang ada, meliputi: keinginan untuk kembali belajar yang cukup besar, lokasi kantor sekarang yang jauh dari kampung halaman, take home pay nanti akan dipotong ketika tugas belajar tapi insya Allah tetap cukup untuk kebutuhan saya, dan kesempatan tugas belajar yang hanya bisa saya dapatkan 2 kali (ini pun kalau ada pendaftaran), akhirnya saya putuskan untuk ikut mendaftar. Bismillah.

Sebagai persiapan, saya juga mulai buka-buka buku TPA, latihan soal serta mempelajari soal-soal seleksi penerimaan tugas belajar tahun-tahun sebelumnya. Tidak lupa juga, buka-buka lagi materi-materi bahasa inggris yang sebagian besarnya sudah pada lupa. Haha 😆 Teman-teman seangkatan juga terlihat antusias menyambut pendaftaran tugas belajar kala itu. Kalau dilihat-lihat sih, hampir semua teman seangkatan saya ikut mendaftar, kecuali ada beberapa kelompok. Pertama, mereka yang sudah nyaman berada di kantor sekarang dan tidak ingin penempatan ulang. Misalnya, lokasi kantor berada di kampung halaman (kami biasa menyebutnya homebase) atau tidak jauh dari homebase. Kedua, ada beberapa teman perempuan yang sudah menikah dan tentu tidak mau berpisah dengan keluarganya. Termasuk dalam hal ini pun, laki-laki. Misalnya istri/suami bekerja di daerah kantor yang sekarang dan tidak menginginkan harus menempuh ldm (long distance marriage) bila ikut tugas belajar.

Alhamdulillah, tibalah saatnya bagi saya untuk ujian tulis kala itu. Ujian tulis ini dilaksanakan sekitar akhir bulan Mei. Materi yang diujikan cukup sederhana, hanya tes potensi akademik (TPA) dan bahasa inggris saja. Alhamdulillah bisa dilalui dengan baik. Tiba waktunya pengumuman seleksi, alhamdulillah nama saya muncul, saya lulus tes pertama. Para peserta yang lulus tes pertama ini akan menjalani tes berikutnya (sekaligus tes terakhir) pada akhir juni, beberapa hari sebelum libur hari raya kala itu.

Tidak banyak persiapan yang dilakukan, karena menurut saya Psikotes ya seperti itu macamnya. Ya belajar dikit-dikit untuk menggambar, termasuk latihan juga tes Wartegg yang melanjutkan gambar di 8 kotak itu. Kemudian coba-coba juga tes Pauli atau yang populer dengan sebutan tes koran, melakukan penghitungan pada kolom-kolom berisi angka satuan. Alhamdulillah, tes dapat dilalui dengan baik. Tidak lama setelah itu, pulang libur lebaran dan menikmati suasana berkumpul dengan keluarga.

Beberapa waktu yang lalu, 8 Agustus 2016 pengumuman final penerimaan mahasiswa tugas belajar STAN muncul. Di beberapa grup WhatsApp ada yang share file pengumuman ini. Sebelum buka pengumuman sudah ada yang memberi kabar sih kalau nama saya tidak ada. Tapi ya tetap saya buka saja, sekalian lihat siapa-siapa diantara teman-teman saya yang diterima. Iya, benar tidak ada nama saya. Sedih? pasti lah ya, ya kan saya juga punya harapan bisa melanjutkan kuliah di sana. Tapi over all, ya Alhamdulillah, insyaAllah ini yang terbaik bagi saya dan juga bagi teman-teman saya semuanya.

Saya juga ikut senang karena beberapa teman yang saya kenal berhasil diterima, termasuk juga teman sekamar kost waktu dulu di Manado. Alhamdulillah, semoga bisa nyusul tahun depan (dan semoga ada penerimaan tugas belajar lagi). Tetap semangat dan berusaha stay positive. Yang jelas dan harus diyakini, bahwa apapun yang terjadi saat ini pastilah anugerah yang terbaik. Terlalu banyak hal yang tidak kita tahu, jadi ya husnudzan saja. Semua sudah ada rizkinya masing-masing, insyaAllah saya ada rizki yang lain tahun ini. :mrgreen: Eh, ya maksudnya kalau kita hitung nikmat dan rizki yang Allah berikan kan banyak sekali ya. Bahkan ngga terhitung, gitu maksudnya. 😀

Satu hal yang ingin saya bagi tentang pekerjaan, kuliah atau apapun itu yang kita dapatkan saat ini. Syukuri, cintai dan tekuni. Kemudian tersenyumlah dan ucapkan Alhamdulillah 🙂

Kamu Jadi Baik karena Doa Mereka

Sungguh, rizki itu bukan hanya uang
Kedua orangtua, terlebih doa-doa beliau berdua,
kesempatan untuk belajar, dari kecil dulu hingga sekarang
bertemunya kita dengan teman, kawan juga sahabat-sahabat yang baik
hingga pada kebaikan-kebaikan yang Allah mudahkan bagi kita untuk melaksanakan

Alhamdulillah

Saya ingat sekali dulu, waktu masih kecil, sudah SD kelas 1 sih :mrgreen: tiap hari saya diantar sekolah dan ditunggui oleh ibu. Waktu itu memang saya masih 5 tahun dan tidak sekolah TK sebelumnya, jadi ya masih takut-takut ketemu orang banyak. Karena terus-terusan seperti itu dan saya ngga mau ditinggal sama sekali, akhirnya diputuskan belajar di rumah dulu saja, tahun depan (saya sudah 6 tahun, usia ideal masuk SD) baru sekolah lagi.

Di rumah juga begitu, pas belajar nulis, berhitung, kan saya diajar ibu saya sendiri kalau di rumah, pasti ngeluhnya capek. “Udah buk, besok lagi ya..”, selalu rengek saya. Ya mungkin memang bawaannya anak pertama, belum punya adik lagi, manja 😀 Alhamdulillah, ya bisa belajar dikit-dikit, tulisan juga udah lumayan, lumayan ngga terlalu jelek maksudnya 😆 Alhamdulillah 🙂

Pas sorenya alhamdulillah di kampung saya ada TPQ, Taman Pendidikan al-Quran bertempat di masjid kampung. Semua yang sudah sekolah dihimbau agar belajar ngaji di situ. Ya pertama-pertama saya diantar ibu, hari pertama, kedua sampai kemudian berani berangkat sendiri. Alhamdulillah dari sejak kecil sudah dapat pendidikan agama seperti itu. Ya belajar mulai dari iqra, belajar wudhu sampai sholat, kemudian mulai membaca al-Quran, ada selingan juga hafalan surat pendek. Alhamdulillah dulu hafalan surat pendeknya mulai Ad-Dhuha, jadinya memang yang paling hafal sampai sekarang ya surat ini. Hehe. Ya kan biasanya yang pertama itu paling semangat, selanjutnya apalagi pas dapat surat yang agak panjang (read: al-‘Alaq), sudah mulai kena hukuman semua. :mrgreen: Semoga Allah balas kebaikan para Ustadzah saya dengan kebaikan yang berlimpah, Aamiin. 🙂

Yang paling teringat juga dulu, adalah ketika kegiatan praktik sholat. Jadi ada jadwalnya, saya lupa tiap hari apa. Kami berbaris rapi di teras masjid, sampai beberapa shaf karena memang kami yang mengaji jumlahnya banyak. Dan mulai dari takbiratul ihram sampai salam kita baca dengan bacaan yang keras. Itupun harus pelan-pelan, ngga boleh cepat, sembari para Ustadzah kami membenahi gerakan kami, posisi kami yang kurang tepat. Sampai satu gerakan saja bisa lama dulu itu, gara-garanya masih banyak yang salah-salah. Maka hingga hari ini, bahkan hingga kami meninggal dunia nanti, pada setiap sholat yang kami lakukan, insyaAllah Allah hadirkan pula pahala untuk beliau-beliau yang dengan sabar memegang tangan kami, meluruskan punggung kami ketika ruku’, hingga pada bacaan sholat yang kami hafalkan. Apalagi bila kemudian kami, murid-murid beliau mengajarkan pula hal ini kepada anak-anak kami, atau siapapun itu, pun pahalanya akan sampai pula kepada beliau-beliau. Semoga Allah kumpulkan kita di surga-Nya, tempat yang jauh lebih baik dari keadaan kita di dunia.

Itu tadi baru setitik kebaikan beliau-beliau yang telah banyak berjasa pada hidup kita. Bagaimana lagi dengan orangtua kita. Ibu kita yang kita tumbuh dan hidup dalam rahimnya selama sembilan bulan, yang air susunya menjadi nutrisi utama pembentuk tulang dan daging kita, yang dengan kasih sayangnya merawat kita dengan penuh cinta, mengenalkan kata pertama hingga kita bisa ini dan itu. Sungguh, kita di mata ibu tetaplah anak kecil yang baru kemarin digendongnya. Maka pun kita sungguh memohon agar Allah mengaruniakan kebersamaan dengan orangtua kita, mereka yang kita cinta, bukan hanya di dunia, namun hingga ke surga-Nya.

Sungguh, orangtua kita telah mengupayakan segalanya demi kebaikan kita. Memberikan pendidikan yang terbaik bagi kita, yang barangkali kita jarang berfikir bagaimana kesusahan beliau untuk dapat selalu memenuhi apa yang kita butuhkan, bahkan terkadang sekedar apa yang kita inginkan.

Berbuat baik kepada keduanya.
Berbuat baik kepada keduanya.
Berbuat baik kepada keduanya.

Rendahkan diri kita di hadapan keduanya.

Ketika dengan sedikit pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak mengerti, atau misalnya sudah ngaji dan lebih paham dalam agama ini lantas membuat kita memandang orangtua dengan pandangan yang kurang hormat atau bahkan pandangan merendahkan. Sadari bahwa ada yang salah dengan pendidikan kita, ada yang salah dengan ngaji kita.

Semoga Allah mudahkan kita semua untuk menjadi anak yang berbakti kepada orangtua kita, yang dapat membahagiakannya, di dunia dan di akhirat kelak.

Salah seorang menasihatkan, “Apapun yang ibuku inginkan dan aku bisa memenuhinya niscaya akan segera aku penuhi. Karena ada saatnya ibuku menginginkan sesuatu, namun aku tidak bisa mewujudkannya.”

Terimakasih sudah membaca. Selamat berakhir pekan. Jangan lupa mengunjungi orangtua, atau menelponnya. Kehadiran kita, meski hanya berupa suara adalah kado terindah bagi mereka. 🙂

Barakallahu fiikum 🙂

Mensyukuri Kemerdekaan

Tidak bersyukur kepada Allah siapa yang tidak berterimakasih pada manusia

Ketika banyak pihak mempertanyakan, benarkah kita sudah merdeka? Maka ijinkan saya menjawab, “Sudah, namun perjuangan belum usai.” Kita bersyukur kepada Allah, kemudian berterimakasih pada para pahlawan yang telah mengorbankan segalanya, waktu, tenaga, harta, bahkan nyawa untuk memperjuangkan kemerdekaan ini.

Para pahlawan yang ketika kita membaca cerita perjuangan mereka, kita dibuat malu, apa yang kita lakukan untuk negeri ini tidak ada apa-apanya. Panglima besar Jenderal Sudirman yang dalam sakitnya yang kian parah, memimpin perang gerilya sampai harus berada dalam tandu. Masuk hutan keluar hutan. Apa yang dicari? jabatan, harta, kemewahan? Tidak sedikitpun muncul dari hati dan pikiran beliau. Beliaulah, beserta rekan-rekan seperjuangannya yang benar-benar mewujudkan sebuah prinsip agung dalam agama kita, “Hidup mulia, atau mati syahid.” Semoga Allah karuniakan kehidupan di alam kekal untuk mereka semua, kehidupan yang jauh lebih baik.

Para pahlawan kita inilah, yang sudah tidak lagi terikat hatinya pada dunia. Bahwa kemuliaan itu ada dalam kehidupan merdeka atau kesyahidan di medan perang. Maka pun kita tahu, betapa dulu rasa cinta tanah air di dada mereka, serta semangat untuk melawan kedzaliman, berjuang keluar dari belenggu penjajahan telah mempersatukan bangsa ini, dari mulai petani di desa-desa, para pemuda terpelajar, hingga para santri di pesantren-pesantren mereka, bahu membahu mengangkat senjata dalam pekik takbir yang menggema dimana-mana. Allahu Akbar!

Maka kita generasi muda, jangan lupakan sejarah. Jangan lupakan perjuangan mereka para pahlawan yang berkat mereka, setelah rahmat dan karunia Allah, kita bisa menikmati kemerdekaan di republik ini. Kita bisa sekolah, menjalankan ibadah dengan aman dan tenang, serta beragam aktivitas lainnya pun tak luput dari jasa mereka. Semoga Allah mengalirkan pahala yang tak putus-putus pada mereka atas segala kemudahan yang kita rasakan saat ini, sholat kita, puasa kita, serta ibadah-ibadah lainnya. Sungguh sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.

Pun kemudian, setelah kita meneladani kebaikan-kebaikan mereka yang begitu berlimpah, semoga kita menjadi lebih bersemangat untuk memberikan yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk negeri ini. Yang masih bersekolah, belajar yang rajin dan sungguh-sungguh. Yang kuliah, belajar serta mengembangkan wawasan juga menyumbangkan ide-ide bagi kebaikan negara kita. Yang menjadi karyawan, sungguh-sungguh dalam bekerja dengan niat ibadah demi memajukan perekonomian bangsa. Yang PNS, berkomitmen untuk senantiasa menjalankan amanah yang diemban dengan sebaik-baiknya. Hingga pada para ibu rumah tangga, untuk terus mendidik dengan nilai-nilai kebaikan serta akhlak mulia mereka yang akan meneruskan perjuangan bangsa ini nantinya.

Aku cinta indonesia. Merdeka!